Bab : Ijinnya Janda Didalam Menikah Adalah Dengan Ucapan Dan Ijinnya Perawan Adalah Dengan Diam
Hadist pertama
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ مَيْسَرَةَ الْقَوَارِيرِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ ح و حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى يَعْنِي ابْنَ يُونُسَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ ح و حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ كُلُّهُمْ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ بِمِثْلِ مَعْنَى حَدِيثِ هِشَامٍ وَإِسْنَادِهِ وَاتَّفَقَ لَفْظُ حَدِيثِ هِشَامٍ وَشَيْبَانَ وَمُعَاوِيَةَ بْنِ سَلَّامٍ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar bin Maisarah Al Qawariri telah menceritakan kepada kami Khalid bin Harits telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya bin Abi Katsir telah menceritakan kepada kami Abu Salamah telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Janganlah menikahkan seorang janda sebelum meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?" Beliau menjawab, "Dia diam." Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Abi Utsman. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa telah mengabarkan kepada kami Isa yaitu Ibnu Yunus dari Al Auza'i. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Syaiban. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Amru An Naqid dan Muhammad bin Rafi' keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dari Ma'mar Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Hasan telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah semuanya dari Yahya bin Abi Katsir seperti makna hadits Hisyam beserta isnadnya. Lafazh hadits ini juga sesuai dengan hadits Hisyam, Syaiban dan Mu'awiyah bin Salam.
Hadist kedua
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ جَمِيعًا عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ وَاللَّفْظُ لِابْنِ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَقُولُ قَالَ ذَكْوَانُ مَوْلَى عَائِشَةَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْجَارِيَةِ يُنْكِحُهَا أَهْلُهَا أَتُسْتَأْمَرُ أَمْ لَا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ تُسْتَأْمَرُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ لَهُ فَإِنَّهَا تَسْتَحْيِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ إِذْنُهَا إِذَا هِيَ سَكَتَتْ
Faedah hadist :
1. Jika ia setuju, maka ia akan diam. Namun jika ia tidak setuju, maka ia akan mengungkapkannya.
Hadist ketiga
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَالِكٌ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ قُلْتُ لِمَالِكٍ حَدَّثَكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْفَضْلِ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur dan Qutaibah bin Sa'id keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Malik Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya sedangkan lafazhnya dari dia (Yahya), dia berkata; Saya bertanya kepada Malik; Apakah Abdullah bin Fadll pernah menceritakan kepadamu dari Nafi' bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ telah bersabda, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus di mintai izin darinya, dan izinnya adalah diamnya"? Dia menjawab, "Ya."
Hadist keempat
و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ سَمِعَ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ يُخْبِرُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا وَرُبَّمَا قَالَ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'ad dari Abdullah bin Fadll bahwa dia mendengar Nafi' bin Jubair mengabarkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya adalah izinnya." Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dengan isnad ini, beliau bersabda, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis), maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya." Atau mungkin beliau bersabda, "Dan diamnya adalah persetujuannya."
Faedah hadist :
1. Terjadi perbedaan pandangan ulama tentang makna sabda Nabi :“ Dia (janda) lebih berhak daripada walinya.” Menurut jumhur ulama, janda itu yang lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya adalah didalam perijinan. Sehingga ia lebih berhak mengijinkan atas dirinya (tanpa ada paksaan)
2. Jangan nikahkan janda sampai dia melafalkan ijinnya, hal ini berbeda dengan si perawan.
3. Makna أَحَقُّ بِنَفْسِهَا ada 2 pendapat :
- ia berhak atas segala sesuatu (bebas menikahkan dirinya sendiri, menentukan calon pasangannya), orang tuanya tahu ataupun tidak tahu tidak masalah. Karna ia yang lebih berhak atas dirinya.
- maksud dari berhak itu adalah menentukan ijin dengan ungkapannya tapi yang menikahkan tetap walinya.
Akan tetapi ketika hadist Nabi yang Shahih : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” Ditambah lagi dengan dalil-dalil yang lain yang menunjukkan disyaratkan nya wali didalam pernikahan maka mau tak mau pemahaman/pendapat yang kedua itulah yang benar.
4. Ketahuilah lafadz أَحَقُّ بِنَفْسِهَا 'lebih berhak' disini adalah haknya janda lebih kuat daripada hak walinya. Kalau seandainya si wali ingin menikahkan anaknya yang janda dengan laki-laki yang sekufu (setara) tapi si janda tidak mau maka si janda tidak boleh dipaksa. Sebaliknya, kalau si janda ingin menikah dengan seorang laki-laki yang sekufu sementara walinya enggan untuk menikahkannya maka si wali dipaksa untuk menikahkan si janda. Kalau seandainya si wali tetap bersekukuh tidak mau menikahkan si janda maka hakim yang akan menikahkannya. Ini menunjukkan bahwa hak janda lebih kuat dan lebih berat daripada si wali.
5. Adapun dalam masalah si ijin perawan. Maka, terjadi perbedaan pandangan ulama. Diantaranya Imam Syafi'i mengatakan ijin didalam anak yang perawan diperintahkan. Kalau walinya (bapak/kakeknya) maka ijinnya, dianjurkan.
Kalau bapaknya menikahkan si perawan tanpa ijinnya maka nikahnya sah. Karna si wali sangat sempurna kasih sayang kepada anaknya/cucunya.
Selain dari mereka berdua (bapak/kakek) dari wali-wali, maka wajib untuk meminta ijin kepada si perawan. Tidak sah pernikahan sebelum meminta ijin darinya.
6. Abu Hanifah, orang kuffah, wajib minta ijin kepada gadis yang sudah baligh. Ijinnya perawan adalah diam.
7. Sebagian dari madzhab Syafi'i mengatakan apabila walinya (ayah/kakeknya), maka minta ijinnya dianjurkan dan ijinnya cukup dengan diam. Jika selain dari mereka berdua, maka perlu di ucapkan setuju atau tidaknya. Karna si perawan merasa malu mengucapkannya kepada selain bapak/kakeknya seperti kepada pamannya, saudara laki-lakinya atau lainnya.
Namun yang Shahih menurut jumhur ulama adalah bahwasanya diam nya itu sudah cukup untuk seluruh para wali berdasarkan keumuman hadist dan adanya rasa malu bagi si perawan. Adapun janda maka harus diungkapkan dengan kata-kata tanpa ada perbedaan diantara ulama baik apakah walinya bapaknya atau selain bapaknya. Karna rasa malunya si janda sudah hilang.
8. Menurut madzhab Syafi'i bahwasanya tidak disyaratkan adanya pemberitahuan bahwasanya diamnya itu adalah ijin. Disyaratkan oleh Malikiyah dan sepakat murid-murid Imam Malik bahwa dianjurkan untuk itu yakni diberitahukan akad diamnya itu.
9. Terjadi perbedaan pandangan ulama didalam syaratnya wali didalam pernikahan. Imam Malik dan Syafi'i mengatakan disyaratkan wali didalam pernikahan. Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali. Sementara Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak disyaratkan adanya wali jika pernikahan dilakukan dengan si janda, tidak juga pada perawan yang yang sudah baligh. Ia boleh menikahkan dirinya tanpa ada walinya. Abu Tsaud mengatakan bahwa boleh menikahkan dirinya dengan seijin walinya dan tidak boleh dengan ijin selainnya.
10. Alhasil, keluar dari perbedaan pendapat ulama adalah menikah dengan wali, minimal nikah dengan ijin wali.
Wallahu'alam
[Oleh : Buya M. Elvi Syam | Kitab Shahih Muslim | 23 Jumadil Akhir 1443 | Masjid Al Hakim, Kota Padang]
0 Komentar
Tinggalkan balasan