Bab : Para Penerima Zakat Dan Orang-orang Yang Tidak Boleh Menerimanya
Ketahuilah, bahwa zakat hanya sah apabila diberikan kepada delapan golongan yang disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam kitab Nya yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
إنما الصدقات للفقراء والمسكين والعملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغرمين وفي سبيل الله وأبن السبيل فريضة من الله والله عليم حكيم
"Sesungguhnya zakat zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Surah At-Taubah : 60)
Delapan golongan yang tersebut di dalam ayat inilah orang-orang yang berhak menerima zakat, di mana Allah telah menetapkan mereka sebagai obyek pemberian zakat. Dan telah terjadi ijma' (kesepakatan) bahwa tidak boleh memberikan zakat kepada selain mereka.
Abu Dawud dan lainnya meriwayatkan dari Ziyad bin al-Harits secara marfu' :
إن الله لم يرض بحكم نبي ولا غيره في الصدقات حتى حكم فيها هو فجرأها ثمانية أجزاء.
"Sesungguhnya Allah tidak menerima ketetapan seorang Nabi dan tidak pula selain Nabi dalam perkara zakat, sehingga Dia sendiri yang menetapkan hukumnya, maka Dia membaginya dalam delapan kelompok." (Hadits dha'if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang yang meminta :
إن كنت من تلك الأجزاء أعطيتك.
"Jika kamu termasuk dari kedelapan kelompok tersebut, maka aku akan memberimu." (Hadits dha'if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Saat sebagian orang-orang munafik menyanggah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam perkara pembagian sedekah, Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang membaginya, menjelaskan hukumnya, mengurusi perkaranya sendiri dan tidak menyerahkan pembagiannya kepada siapa pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Zakat harus diberikan kepada delapan golongan jika mereka ada. Jika tidak, maka diberikan kepada yang ada dari mereka dan ditransfer dimana mereka berada." (Al Ikhtiyarat, hal. 154)
Beliau juga berkata,
"Zakat hanya patut diberikan kepada orang orang yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah Karena Allah menetapkannya sebagai penopang ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkannya, seperti orang orang miskin, atau orang-orang yang terlilit hutang, atau untuk orang-orang yang membantu orang-orang mukmin. Barangsiapa di antara orang-orang miskin ada yang tidak shalat, maka dia tidak perlu diberi zakat, hingga dia bertaubat dan berkomitmen melaksanakan shalat pada waktunya." (Al Ikhtiyarat, hal. 154)
Tidak boleh menyalurkan zakat kepada selain delapan golongan yang telah Allah tetapkan, sekalipun ia termasuk proyek-proyek sosial, seperti membangun masjid dan sekolahan.
Karena Allah Ta'ala berfirman :
إنّما الصدقات للفقراء والمسكين …
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin..." (Surah At-Taubah : 60)
Ungkapan 'hanyalah untuk' dalam ayat di atas menunjukkan pembatasan dan penetapkan hukum bagi yang disebutkan sesudahnya dan menafikan menepis selainnya. Sehingga maknanya adalah, 'zakat bukan untuk mereka yang tidak tersebut dalam ayat, akan tetapi untuk mereka yang tersebut secara khusus'. Dan tidaklah Allah Ta'ala menetapkan delapan golongan tersebut, melainkan untuk memberitahukan bahwa zakat tidak boleh keluar dari delapan golongan ini kepada selainnya.
Delapan golongan di atas terbagi menjadi dua bagian :
Pertama, kaum muslimin yang membutuhkan.
Kedua, orang-orang yang jika diberi akan membantu dan memberikan kekuatan pada Islam.
Firman Allah Ta'ala :
إنما الصدقات للفقراء والمسكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغرمين وفي سبيل الله وأبن السبيل فريضة من الله والله علي حكيم -
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Surah At-Taubah : 60)
Ayat yang mulia ini membatasi kelompok yang berhak zakat, di mana zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada mereka, dan tidak sah apabila diberikan kepada selain mereka. Mereka yang berhak menerima zakat berjumlah delapan golongan: menerima
Pertama : Orang-orang Fakir
Mereka lebih membutuhkan daripada orang-orang miskin, karena Allah Ta'ala memulai firman-Nya dengan menyebut mereka. Dan merupakan hal yang lazim bila sesuatu yang lebih penting lebih didahulukan daripada yang penting.
Orang-orang fakir adalah orang orang yang tidak memiliki apa yang mencukupi kebutuhan hidup mereka, sementara mereka tidak mampu untuk bekerja. Atau mereka memiliki sebagian dari kebutuhan. Karenanya mereka diberi zakat dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan mereka, jika mereka tidak memiliki apapun. Atau diberi sebatas melengkapi apa yang telah mereka miliki, sehingga kebutuhan mereka dalam satu tahun penuh terpenuhi.
Kedua : Orang-orang Miskin
Mereka lebih baik kondisinya daripada orang-orang fakir. Orang miskin adalah orang yang memiliki sebagian besar kebutuhannya atau setengahnya. Karenanya dia diberi zakat yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dalam satu tahun.
Ketiga : Para Amil Zakat.
Mereka adalah orang-orang yang bertugas mengumpulkan zakat dari para wajib zakat, lalu menjaganya dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya atas instruksi kaum muslimin. Mereka berhak diberi zakat sebagai gaji sesuai dengan tugas yang mereka tunaikan, kecuali jika pemimpin kaum muslim pemimpin telah memberi mereka gaji tetap dari Baitul Mal (kas Negara), maka mereka tidak lagi diberi apapun dari zakat.
Hal ini sebagaimana yang berlaku di masa sekarang, dimana para amil zakat telah digaji oleh negara dan mereka menerima gaji atas tugas mereka dalam mengurus zakat, Karenanya, mereka tidak boleh lagi menerima zakat sekalipun mereka bertugas mengurusi zakat, karena mereka telah mendapatkan upah pekerjaan mereka dari selain zakat.
Keempat : Muallafah Qulubuhum
Muallafah merupakan jamak muallaf, dan berasal dari kata 'at-ta'lif, yang berarti menarik hati. Para muallaf ini terbagi menjadi dua bagian : dari kalangan orang-orang kafir, dan orang-orang muslim.
Orang kafir boleh diberi zakat bila diharapkan keislamannya. Hal ini untuk memperkuat niatnya masuk Islam dan mendorong semangatnya kepada Islam. Atau bila dia diberi, maka dia akan menghentikan keburukannya atau keburukan orang lain terhadap kaum muslimin.
Sedangkan muslim muallaf adalah muslim yang diberi zakat untuk memperkuat imannya atau agar orang sepertinya diharapkan masuk Islam.
Dan tujuan-tujuan lainnya yang dibenarkan dan berguna bagi kaum muslimin.
Memberikan zakat demi tujuan ini, hanya dilakukan saat dibutuhkan. Karena 'Umar, 'Utsman dan 'Ali tidak lagi mengalokasikan zakat untuk golongan ini, karena hal tersebut tidak lagi dibutuhkan di zaman mereka.
Kelima : Riqab.
Mereka adalah para hamba sahaya mukatab yang tidak memiliki apa yang akan mereka bayarkan. Karenanya, hamba sahaya mukatab diberi zakat, agar dapat melunasi hutang kitabah-nya, sehingga merdeka dan terbebas dari perbudakan.
Seorang muslim boleh membeli seorang hamba sahaya dari harta zakatnya lalu memerdekakannya. Zakat juga bisa digunakan untuk membebaskan tawanan muslim, karena hal tersebut merupakan pembebasan seorang muslim dari belenggu tawanan.
Keenam : Gharim.
Yaitu orang yang berhutang. Gharim terbagi menjadi dua :
1. Berhutang untuk orang lain.
Yaitu orang yang berhutang untuk tujuan mendamaikan dua kubu yang bertikai. Seperti misalnya dua desa atau dua suku terlibat dalam pertikaian terkait dengan pembunuhan atau sengketa harta. Dimana hal tersebut berpeluang memicu permusuhan atau perseteruan di antara mereka. Kemudian datanglah seorang pria yang menengahi mereka, lalu dia berkomitmen memikul segala kerugian yang diderita oleh kedua kubu, demi mengakhiri fitnah. Laki-laki ini telah melakukan perbuatan baik yang besar, karenanya, apa yang dia pikul dalam kondisi ini harus ditutup dari harta zakat, sehingga tidak membuatnya pailit.
Disamping itu hal ini akan mendorongnya dan mendorong orang lain untuk melakukan perbuatan mulia ini, dimana dengannya fitnah bisa dipadamkan dan kerusakan bisa dihentikan. Bahkan syari'at membolehkan gharim seperti ini meminta-minta, demi mewujudkan maksudnya.
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
أتم عندنا حتى تأتينا الصدقة فتأمر لك بها.
"Tinggallah di sini bersama kami, sehingga zakat datang lalu kami akan memberikannya kepadamu." (Hadist Riwayat Muslim)
2. Gharim untuk diri sendiri.
Misalnya dia menebus dirinya dari orang-orang kafir, atau dia memikul hutang yang tidak sanggup ia lunasi, maka dia diberi zakat sehingga dapat melunasi hutangnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala :
... والغرمين …
"... orang-orang yang berhutang..." (Surah At-Taubah : 60)
Ketujuh : Fi Sabilillah.
Mereka adalah para tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari Baitul Mal. Karena yang dimaksud dengan fi sabilillah secara umum adalah perang.
Allah Ta'ala berfirman :
و إن الله يحب الذين يقتلون في سبيله....
"Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya." (Surah Ash-Shaff : 4)
Allah juga berfirman :
و وقتلوا في سبيل الله ...
"Dan perangilah di jalan Allah..." (Surah Al-Baqarah : 190)
Kedelapan : Ibnu Sabil
Yaitu musafir yang tidak bisa pulang ke daerahnya karena kehabisan bekal atau kehilangan bekal. Ibnu Sabil ini diberi zakat secukup untuk bekal dia pulang.
Jika musafir tersebut sedang dalam perjalanan pergi, maka dia diberi zakat yang dapat membuatnya sampai ketujuannya, berikut apa yang bisa membuatnya pulang ke daerahnya.
Tamu termasuk Ibnu Sabil sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dan lainnya.
Bila zakat yang telah diterima oleh Ibnu Sabil, atau orang yang berperang, atau orang yang berhutang, atau hamba sahaya mukatab masih tersisa setelah kebutuhan mereka tercukupi, maka yang tersisa tersebut wajib dikembalikan. Karena mereka tidak memiliki secara sempurna apa yang mereka terima, akan tetapi mereka hanya memilikinya dengan pertimbangan kadar hajat dan terwujudnya sebab yang karenanya mereka berhak menerima. Dan apabila sebab tersebut telah hilang, maka mereka tidak lagi berhak menerima.
Ketahuilah bahwa boleh mendistribusikan seluruh zakat hanya kepada satu golongan dari delapan golongan tersebut.
Allah Ta'ala berfirman :
وتؤثوها الفقراء فهو خير لكم
"... Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu..." (Surah Al-Baqarah : 271)
Juga berdasarkan hadist Mu'adz saat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengutusnya ke Yaman, beliau bersabda kepadanya :
أعلمهم قد افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم.
"Katakan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya kalangan mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari mereka." (Muttafaqun 'alaih)
Allah Ta'ala dan Rasul-Nya dalam ayat dan hadist diatas hanya menyebutkan satu golongan saja, hal ini menunjukkan dibolehkannya membayarkannya kepadanya.
Zakat boleh diberikan kepada satu orang, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan Bani Zuraiq memberikan zakat mereka kepada Salamah Shakhr. (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Qabishah :
أتم يا قبيصة حتى تأتينا الصدقة فتأمر لك بها.
"Wahai Qabishah, tinggallah dulu hingga zakat datang kepada kami, lalu kami akan memberikannya kepadamu."
Dua hadits ini menunjukkan bahwa zakat boleh diberikan kepada satu orang dari delapan golongan tersebut.
Dianjurkan memberikan zakat kepada para kerabat yang membutuhkan, yaitu kerabat yang tidak wajib dia nafkahi, dengan mendahulukan yang hubungannya lebih dekat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :
الصدقة على المسكين صدقة وعلى ذي الرحم ثنتان صدقة وصلة
"Sedekah untuk orang miskin adalah sedekah, sedangkan untuk kerabat, bernilai dua; sedekah dan silaturrahim." (Diriwayatkan oleh imam hadits yang lima dan dihasankan oleh at-Tirmidzi)
Tidak boleh membayar zakat kepada Bani Hasyim, termasuk keluarga al-'Abbas, keluarga 'Ali, keluarga Ja'far, keluarga Aqil, keluarga al-Harits bin 'Abdul Muththalib dan keluarga Abu Lahab,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :
إن الصدقة لا تنبغي لآل محمد وإنها هي أوساخ الناس.
"Sesungguhnya zakat tidak patut untuk keluarga Muhammad, karena ia adalah ampas harta manusia." (Diriwayatkan oleh Muslim)
Tidak boleh memberikan zakat kepada wanita miskin yang menjadi istri laki-laki kaya yang menafkahinya. Sebagaimana juga tidak boleh memberikan zakat kepada orang miskin yang memiliki kerabat kaya yang menafkahinya. Karena dengan nafkah tersebut mereka tidak lagi memerlukan zakat.
Tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan zakat hartanya kepada kerabatnya yang wajib dia nafkahi, karena dengan itu dia me lindungi hartanya. Adapun orang yang dia beri nafkah bukan karena suatu kewajiban, maka dalam kondisi ini dia boleh memberikan zakatnya kepadanya. Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa istri Abdullah bertanya kepada Nabi tentang keponakannya yang yatim dan berada dalam pengasuhannya, bolehkah memberikan zakatnya kepada mereka? Nabi Shallallahu 'Alaihi WA Sallam menjawab, "Boleh." (Hadist Riwayat Ibnu Majah)
Tidak boleh bagi seseorang memberikan zakat kepada induk nasabnya, yaitu bapak dan kakeknya, tidak pula kepada cabang nasabnya, yaitu anak-anaknya dan cucu-cucunya.
Tidak boleh juga memberikan zakat kepada istrinya, karena istri berkecukupan dengan nafkah suami dan juga itu berarti suami melindungi hartanya dengan memberikannya pada istri.
Lalu bagaimana dengan mertua? Maka boleh diberikan zakat. Karna mertua bukan tanggung jawabnya.
Seorang muslim harus cermat dalam memberikan zakatnya. Apabila dia menyerahkannya kepada orang yang menurutnya berhak, namun ternyata tidak berhak, maka zakat tersebut tidak sah.
Syaikh Utsaimin mengatakan :
Tidak boleh seorang pengusaha memberikan zakat kepada pekerjanya yang fakir jika ia harapkan dengan memberikan zakat itu adanya kompensasi (loyalitas) untuk perusahaannya, seperti memberikan THR namun dari uang zakat.
Boleh memberikan zakat kepada pekerjanya tapi melalui orang lain yang dia sendiri (pekerja) tidak tahu bahwa zakat ini dari majikannya (atasannya). Supaya apa? Supaya tidak ada feedbacknya. Karna diminta pekerja untuk loyalitas bukan dari zakat melainkan dari uang atasan. Kalau atasan minta loyalitas, maka tidak dikeluarkan zakat melainkan dari uangnya sendiri.
Adapun jika dia tidak mengetahui bahwa yang bersangkutan tidak berhak, maka dalam kondisi ini zakat tersebut sah, berdasarkan kepada dugaan yang kuat, selama tidak terbukti sebaliknya. Karena pada saat Nabi didatangi oleh dua orang laki-laki yang meminta zakat, beliau mengamati keduanya dan melihat keduanya kuat, maka Nabi bersabda:
إن شئتما أعطيتكما منها ولا حظ فيها لغني ولا يقوي
"Bila kalian berkenan maka aku akan memberikannya kepada kalian, namun zakat itu tidak patut diberikan kepada orang yang berkecukupan dan tidak pula orang kuat yang masih mampu berusaha." (Hadist Riwayat Abu Dawud)
Wallahu'alam
[Oleh : Buya M. Elvi Syam | Kitab Shahih Muslim | 21 Dzulqaidah 1443 H | Masjid Al Hakim, Kota Padang]
0 Komentar
Tinggalkan balasan