Subscribe Us

header ads

Hukum - Hukum Qadha Puasa

BAB TENTANG : HUKUM-HUKUM QADHA' PUASA

Barangsiapa berbuka di bulan Ramadhan karena alasan yang dibolehkan, seperti udzur syar'i yang membolehkannya berbuka seperti sakit, bersafara atau karena sebab yang diharamkan seperti orang yang menggauli istrinya atau lainnya maka dia wajib mengqadhanya berdasarkan firman Allah Ta'ala :

... فيدة من أيام أخر ..

"... Maka wajiblah atasnya berpuasa sebanyak hari yang ditinggal kan itu pada hari-hari yang lain..." (Surah Al-Baqarah : 184)

Dianjurkan segera mengqadha' agar tanggungannya segera terbebas.

Dianjurkan mengqadha' secara berurutan, karena qadha' meniru pelaksanaan, jika tidak mengqadha' dengan segera maka wajib bertekad kuat untuk melaksanakannya. Boleh menunda, karena waktunya lapang, setiap kewajiban yang waktunya lapang boleh ditunda dengan tekad melaksanakannya, sebagaimana boleh memisah-misahkannya, yakni berpuasa tidak berurutan.

Namun jika yang tersisa dari Sya'ban hanya sebanyak hutang puasanya, maka dalam kondisi ini dia wajib membayarkan secara berurutan dengan ijma' karena waktunya menjadi sempit.

Tidak boleh menunda qadha melewati Ramadhan berikutnya tanpa alasan syar'i, berdasarkan ucapan 'Aisyah, 

"Aku mempunyai hutang puasa Ramadhan, aku tidak mampu melunasinya kecuali di bulan Sya'ban, karena kedudukan Rasulullah di sisiku." (Muttafaq alaihi)'

Kenapa Aisyah banyak mengqadha puasa dibulan sya'ban? Karna dibulan sya'ban nabi banyak berpuasa.

Ucapan 'Aisyah ini menunjukkan bahwa waktu qadha adalah lapang, sampai tidak tersisa dari Sya'ban kecuali sebanyak hari hari hutangnya saja, dalam kondisi ini dia harus sudah melunasinya sebelum Ramadhan berikut tiba.

Jika seseorang menunda qadha' sampai hadir Ramadhan berikut maka dia berpuasa Ramadhan tersebut dan mengqadha' sesudahnya, jika penundaannya karena udzur yang karenanya dia tidak bisa berpuasa di masa-masa tersebut maka dia hanya wajib qadha' saja. Namun jika penundaannya bukan karena udzur maka dia wajib qadha' ditambah memberi makan seorang miskin (fidyah) setengah sha' dari makanan pokok suatu daerah.

Jika orang yang harus menggadha' wafat sebelum Ramadhan berikut tiba maka tidak ada kewajiban apapun atasnya, karena dalam masa tersebut dia memang berhak menundanya. Namun jika dia wafat setelah Ramadhan berikut, maka jika dia menunda karena udzur syar'i seperti dia sakit atau dalam perjalanan sampai Ramadhan berikut tiba maka tidak ada kewajiban apapun atasnya.

Jika penundaannya bukan karena udzur maka wajib kaffarat yang dibayarkan dari harta peninggalannya, dengan menyisihkan sebagian darinya untuk memberi makan satu orang miskin perharinya.

Orang yang menanggung kewajiban puasa kaffarat dan dia wafat, misalnya puasa kaffarat zhihar (mengharamkan istrinya untuk tidak berhubungan badan), atau puasa wajib karena tidak mampu membayar dam haji tamatthu', maka dia memberi makan seorang miskin perharinya dan tidak dilakukan puasa untuknya. Biaya mem beri makan diambilkan dari harta peninggalannya, karena puasa tidak menerima penggantian selama hidup, demikian pula setelah mati, ini adalah pendapat kebanyakan ulama.

Orang yang menanggung puasa nadzar kemudian ia meninggal sebelum sempat berpuasa, maka walinya dianjurkan untuk berpuasa untuknya, berdasarkan hadits shahih dalam ash Shabuhan bahwa seorang wanita datang kepada Nabi, dia berkata,

"Sesungguhnya ibuku wafat dan dia berhutang puasa nadzar, apakah aku berpuasa untuknya?" Nabi menjawab, "Ya." (Muttafaqun 'alaih)

Dan wali adalah ahli waris

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

"Puasa untuk mayit dilakukan ahli warisnya jika puasa tersebut adalah puasa nadzar bukan puasa fardhu yang asli, ini adalah madzhab Ahmad dan lainnya, pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas dan 'Aisyah, pendapat ini merupakan konsekuensi (tuntutan) dari dalil dan qiyas, karena nadzar bukan sesuatu yang wajib dari syara' akan tetapi wajib dari diri hamba sendiri, ia seperti hutang, oleh karena itu Nabi menyamakannya dengan hutang.

Adapun puasa yang Allah wajibkan atasnya pertama kali ia adalah salah satu rukun Islam, maka ia tidak menerima penggantian dalam keadaan apapun, sebagaimana shalat dan dua kalimat syahadat juga tidak mungkin tergantikan oleh orang lain, karena yang menjadi maksud darinya adalah ketaatan hamba dari dirinya sendiri, penunaiannya terhadap hak-hak ubudiyah yang mana karenanya dia diciptakan dan diperintahkan, hal ini tidak mungkin dilaksanakan oleh orang lain untuknya, sebagaimana shalatnya tidak dilaksanakan oleh orang lain untuknya."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, 

"Siapa yang mati dalam keadaan berhutang puasa maka puasanya dibayar dengan memberi makan kepada seorang miskin perharinya, ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq dan lainnya, pendapat ini sejalan dengan pertimbangan sebagaimana ia merupakan tuntutan atsar, karena nadzar merupakan hutang dalam tanggungannya maka ia harus dilakukan (oleh orang lain) setelah kematian.

Adapun puasa Ramadhan maka Allah tidak mewajibkannya atas orang yang tidak mampu melaksanakannya, bahkan Dia memerintahkan orang yang tidak mampu untuk membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin, qadha' hanya wajib atas siapa yang mampu bukan atas siapa yang tidak mampu, sehingga tidak diperlukan seseorang menggadha' untuk orang lain.

Adapun puasa untuk nadzar atau perkara-perkara lainnya yang dinadzarkan maka ia digantikan tanpa perbedaan berdasarkan hadits-hadits yang shahih."

Wallahu'alam

(Oleh : Buya M. Elvi Syam | Kitab Mulakhkhas Fiqih | Masjid Al Hakim | Kota Padang | 24 Muharram 1444 H)

Posting Komentar

0 Komentar