Subscribe Us

header ads

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Orang Yang Tidak Berpuasa Karena Lanjut Usia Dan Sakit

Bab : Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Orang Yang Tidak Berpuasa Karena Lanjut Usia Dan Sakit

Allah mewajibkan puasa Ramadhan atas kaum muslimin tepat pada waktunya atas orang-orang yang tidak berhalangan dan qadha' atas orang-orang yang berhalangan dan mereka mampu melaksanakannya di lain waktu.

Ada kelompok ketiga, yaitu orang-orang yang tidak mampu berpuasa baik tepat pada waktunya maupun di luar waktu, seperti orang lanjut usia dan orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh. Kepada kelompok ini Allah Ta'ala memberikan keringanan, Dia mewajibkan kepadanya untuk memberi makan satu orang miskin pada setiap harinya -sebagai ganti kewajiban berpuasa sebesar setengah sha' makanan-.

Allah Ta'ala berfirman :

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ 

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Surah Al-Baqarah : 286)

Allah Ta'ala berfirman :

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَا مُ مِسْكِيْنٍ ۗ 

"... Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin..." (Surah Al-Baqarah : 184)

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata,

"Ayat ini untuk laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa, keduanya memberi makan seorang miskin perharinya." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari.)

Orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh dihukumi sama dengan laki laki lanjut usia, dia memberi makan seorang miskin perharinya.

Adapun orang yang berbuka karena udzur yang tidak permanen seperti musafir dan orang sakit yang masih ada harapan untuk sembuh, wanita hamil dan menyusui, manakala keduanya khawatir terhadap diri mereka atau anak mereka, wanita haidh dan nifas, maka orang-orang ini wajib menggadha', dengan cara berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari lain.

Allah Ta'ala berfirman :

وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّا مٍ اُخَرَ ۗ 

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..." ( Surah Al-Baqarah : 185).

Berbukanya orang sakit di mana puasa membahayakannya dan musafir yang dibolehkan mengqashar shalat adalah sunnah berdasarkan firman Allah Ta'ala :

 فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّا مٍ اُخَرَ ۗ

“Maka wajiblah atasnya berpuasa sebanyak hari yang ditinggal kan itu pada hari hari yang lain..." (Surah Al-Baqarah : 185) 

Yakni silakan dia berbuka dan menggantinya di lain hari.

Allah Ta'ala berfirman :

 يُرِيْدُ اللّٰهُ بِکُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِکُمُ الْعُسْرَ ۖ 

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghen daki kesukaran bagimu..." (Surah Al-Baqarah : 185)

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri, beliau tidak dihadapkan pada dua pilihan kecuali memilih yang termudah. (Muttafaqun 'alaih, dari Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari)

Dalam ash-Shahihian :

ليس من البر الصيام في السفر.

"Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan." (Muttafaqun 'alaih, dari Jabir bin 'Abdullah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari)

Jika orang yang sakit yang berat berpuasa atau musafir tetap berpuasa maka puasa mereka sah sekalipun makruh (tidak disukai).

Lalu mana yang lebih Afdhal? Yang lebih Afdhal adalah yang paling baik bagi dirinya. Jika berpuasa baik bagi dirinya, maka itu lebih baik. Namun jika berpuasa tidak baik bagi dirinya, maka Tidka berpuasa itu lebih baik.

Adapun wanita haidh dan nifas, maka haram bagi keduanya untuk berpuasa pada saat haid dan nifas dan tidak sah jika tetap berpuasa.

Wanita hamil dan wanita menyusui, wajib atas keduanya mengganti di lain hari sejumlah hari di mana sebelumnya keduanya tidak berpuasa, jika ada kekhawatiran terhadap anak maka disamping qadha' juga memberi makan seorang miskin perharinya.

Al-Allamah Ibnul Qayyim Radhiyallahu Anhu berkata, 

"Ibnu Abbas dan sahabat lainnya berfatwa tentang ibu hamil dan wanita menyusui jika keduanya khawatir terhadap keselamatan anaknya agar berbuka dan memberi makan seorang miskin perharinya, memberi makan sebagai pengganti berpuasa." (Zadul Ma'ad (II: 29] dengan sedikit perubahan)

Yakni yang wajib dilakukan tepat waktu ditambah kewajiban qadha' atas mereka. Wajib berbuka bagi siapa yang memerlukannya untuk menyelamatkan orang yang dalam keadaan bahaya, seperti orang yang tenggelam dan lainnya.

Jika ia khawatir terhadap dirinya sendiri, maka dia qadha saja.
Tapi ia khawatir terhadap anaknya, maka ia mengqadha dan fidyah.

Ibnul Qayyim berkata,

"Sebab dibolehkannya berbuka ada empat: safar, sakit, haidh dan takut celakanya orang yang memang di takutkan celaka seperti wanita hamil dan menyusui, sama dengannya orang yang tenggelam." (Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi' III 197-380)

Wajib atas muslim menentukan niat puasa wajib di malam hari seperti puasa Ramadhan, puasa kaffarat dan puasa nadzar, dengan cara meyakini bahwa dirinya berpuasa Ramadhan atau mengqadha'nya atau berpuasa nadzar atau kaffarat berdasarkan sabda Nabi :

إنّما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى. 

"Sesungguhnya amal-amal itu hanya dengan niat-niat dan sesungguhnya masing-masing orang hanya mendapatkan apa yang di niatkannya."

Dari 'Aisyah secara marfu' :

من لم يبيت الصيام قبل طلوع الفجر فلا صيام له. 

"Barangsiapa tidak mengikrarkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya." ,(Diriwayatkan dengan riwayat senada dari 'Aisyah dan Hafsah dalam satu hadits oleh an-Nasa-i (no. 2340) [11:512)

Wajib meniatkan puasa wajib di malam hari.

Barangsiapa berniat puasa di siang hari, seperti orang yang mendapatkan waktu pagi dan dia belum makan apapun setelah terbit fajar kemudian dia berniat berpuasa maka hal ini tidak boleh kecuali dalam puasa sunnah.

Adapun puasa wajib maka ia tidak sah dengan niat di siang hari, karena seluruh siang adalah waktu untuk berpuasa sementara niat tidak berlaku untuk waktu yang telah berlalu.

Adapun puasa sunnah maka sah berniat untuknya di siang hari berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa dia berkata,

"Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam datang kepadaku pada suatu hari, beliau bertanya, "Apakah kalian mempunyai sesuatu?' Kami menjawab, "Tidak. Beliau bersabda, "Kalau begitu maka aku berpuasa." (Diriwayatkan oleh Jama'ah selain al-Bukhari)

Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak berpuasa, beliau meminta makanan, ini merupakan dalil dibolehkannya menunda niat puasa sunnah, maka dalil yang melarang dikhususkan dengannya.

Syarat sahnya niat di siang hari untuk puasa sunnah, hendaknya sebelumnya tidak ada sesuatu yang membatalkan puasa berupa makan atau minum atau selainnya, seandainya sebelum niat dia sudah melakukan sesuatu yang membatalkan puasa maka puasa tidak sah tanpa perbedaan.

Wallahu'alam

(Oleh : Buya M. Elvi Syam | Kitab Mulakhkhas Fiqhi | Masjid Al Hakim | Kota Padang | 08 Safar 1444 H)

Posting Komentar

0 Komentar