Kembali in syā Allāh kita melanjutkan majelis Syahri Ramadhān kita pada pertemuan yang ke-16. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas satu kejadian besar dalam sejarah Islām yakni perang Badr.
Perang Badr ini lebih dikenal dengan Badr Kubra, yakni perang yang terjadi di bulan Ramadhān tahun ke-2 Hijriyyah. Sejatinya perang Badr ini memiliki beberapa nama, di sana ada Badr 'Udhma, di sana ada Badr Qital dan di antara nama yang masyhur adalah Yaumul Furqān.
Ini sejalan dengan apa yang Allāh firmankan dalam Surat Al Anfāl ketika Allāh berfirman:
وَمَآ أَنزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ ٱلْفُرْقَانِ يَوْمَ ٱلْتَقَى ٱلْجَمْعَانِ ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِيرٌ
"Dan pada hari kami turunkan kepada hamba kami (yakni Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam) di hari Furqān yakni hari bertemunya dua pasukan dan Allāh Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al Anfāl: 41)
Ibnu Abbās menjelaskan bahwa disebut yaumul Furqān di hari pertemuan itu karena memang di situlah Allāh tampakkan perbedaan yang jelas antara yang haq dan yang bathil.
Cerita ringkasnya adalah ketika kaum muslimin kala itu, setelah mendapati kesulitan yang berkepanjangan, intimidasi yang tiada henti, membuat mereka terusir dari tanah kelahiran mereka yakni Mekkah. Meninggalkan harta dan juga keluarga.
Ketika kaum muslimin hijrah ke kota Madīnah. Nabi pun shallallāhu 'alayhi wa sallam sudah merencanakan sebuah penyergapan, sudah merencanakan untuk mengambil harta rampasan.
Orang-orang dari kafir Quraisy ketika itu berdagang ke kota Syam, yang kita tahu bersama itulah mata pencaharian utama mereka, berdagang ke kota Syam atau pun ke Yaman.
Dengan jadwal yang sudah diprediksi dengan waktu yang sudah diperkirakan, orang-orang kafir Quraisy pulang dari negeri Syam yakni yang letaknya secara geografis di utara kota Madīnah. Mereka ingin turun ke selatan kembali ke kota Mekkah dengan membawa perbendaharaan yang luar biasa banyak.
Sejarah mencatat, mereka membawa kurang lebih sekitar 50.000 Dinar dan juga 1.000 ekor unta dengan hanya 40 orang yang menyertainya.
Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mempersiapkan dengan memprediksi waktu. Nabi pun kemudian mengajak sebagian dari kaum muslimin kala itu, tidak semuanya karena memang niatnya bukan untuk peperangan.
Ketika sudah terkumpul pasukan kaum muslimin atau rombongan kaum muslimin lebih tepatnya, kurang lebih sekitar 300 orang. Ternyata Abu Sufyān mendengar dan mencium dari rencana Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini. Kemudian dia mengutus seseorang dan dengan cepat ia kembali (pulang) ke kota Mekkah mengabarkan bahwa kafilah dagang akan diserang oleh kaum muslimin.
Ini membuat amarah murka hingga kemudian Abu Jahl berangkat bersama rombongannya membawa kurang lebih sekitar 1.000 orang beserta dengan segala jenis perlengkapannya. Ada sekitar 600 orang berpakaian lengkap dengan baju zerahnya dan ada pula pasukan berkuda.
Maka Abu Jahl ketika sampai dan berkumpul bersama dengan kafilah dagang, semua sudah dengan posisi siap tempur. Sementara Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan pasukan kaum muslimin tentu saja tidak demikian.
Dan ketika kaum muslimin kemudian benar-benar sudah dihadapkan pada sebuah peperangan, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pun berdoa kepada Allāh Azza wa Jalla dan ini doa yang masyhur tercatat dalam hadīts riwayat Imam Muslim.
Ketika itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berdoa:
اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِيْ مَا وَعَدْتَنِي
"Ya Allāh, penuhilah janji-Mu kepadaku."
اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِيْ
"Ya Allāh, berikanlah kepadaku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku."
اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الإِِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ
"Ya Allāh, ketika Engkau kalahkan (jika Engkau kalahkan) pasukan ini (kaum muslimin), Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini." (Hadīts shahīh riwayat Muslim 3/1384 hadīts nomor 1763).
Ini doa yang masyhur, bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan Nabi pun mengangkat ridanya tinggi-tinggi hingga tampak ketiaknya dan jatuh ridanya. Sampai Abu Bakar mengatakan, "Wahai Nabi Allāh, cukup... cukup munajatmu telah didengar oleh Rabb-Mu. Pasti akan didengar oleh Rabb-Mu."
Maka perang pecah, terjadi saat 17 Ramadhān tahun 2 Hijriyyah. Dan ini menewaskan kurang lebih sekitar 70 orang dari pasukan Quraisy termasuk di antaranya pemimpin mereka, Abu Jahl, beserta pembesar-pembesar lainnya seperti Utbah bin Rabi'ah dan lain sebagainya.
Sementara dari kaum muslimin yang kurang lebih sekitar 300 orang saja, 14 orang syahid. Mayoritas di antaranya adalah dari orang-orang Anshār.
Kemenangan ini sejatinya adalah hadiah yang luar biasa, spesial gift dari Allāh Azza wa Jalla atas kesabaran dari kaum muslimin menahan derita, menahan intimidasi dan lain sebagainya.
Hingga kemudian kemenangan ini membuat kaum muslimin memiliki wibawa. Tidak lagi diremehkan oleh orang-orang dari Mekkah. Mereka menganggap bahwasanya Madīnah memiliki kekuatan, tidak lagi bisa diremehkan dan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apa yang bisa kita petik?
Satu faedah yang perlu digaris bawahi adalah tentang takdir dari Allāh Azza wa Jalla.
Seperti yang kita tahu, Nabi pun shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak meniatkan ini sebagai peperangan. Nabi meniatkan ini sebagai penyergapan tapi ternyata takdir Allāh berkata lain.
Allāh pertemukan dengan momentum perang di sana, Allāh hadapkan dengan sebuah peperangan. Hal yang tidak bisa dihindari oleh kaum muslimin. Hingga kemudian sesuatu yang mungkin menakutkan membuahkan sebuah keberhasilan.
Maka kita sekarang yang telah memplanningkan Ramadhān tahun ini demikian dan demikian, dengan rencana yang matang bersama dengan orang-orang yang tersayang. Kita menyiapkan dengan segala sesuatu yang indah dalam pandangan kita tapi ternyata ketika kita dapati Ramadhān ini mungkin berbeda.
Adanya kesulitan adanya ujian adanya musibah adanya wabah. Bahkan mungkin orang yang kita kasihi sudah tidak ada lagi, padahal Ramadhān lalu masih bersama kita, padahal bulan lalu masih bersama kita.
Kita harus yakin bahwa pasti takdir Allāh yang terbaik. Pastinya akan ada kemenangan di depan kita. Dan inilah yang harus kita pahami bersama bahwa takdir Allāh adalah yang terbaik, tugas kita adalah meyakini segala ketetapan Allāh tersebut.
Wallāhu A'lam bishawab.
[Oleh : Buya Rosyid Abu Rosyidah | Kitāb Majalis Syahri Ramadhān (مجالس شهر رمضان) Mendulang Faidah Ilmu di Bulan Ramadhān Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
0 Komentar
Tinggalkan balasan