Subscribe Us

header ads

Keutamaan Ilmu Dan Ahli Ilmu


Ilmu yang sebenar-benarnya ilmu itu sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syafi'i  :
 
العلم ما نفع، ليس العلم ما حفظ
 
Ilmu adalah yang bermanfaat dan bukan hanya dihafalkan” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 89).
 
Hakikat ilmu yang sebenar-benarnya bukanlah seberapa banyak yang dihafalkan, akan tetapi ilmu yang sebenar-benarnya adalah yang bermanfaat khususnya bagi pemiliknya sendiri sebelum bermanfaat bagi orang lain.
 
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman :
 
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Surah Fathir : 28)
Ini menunjukkan bahwa ilmu seharusnya melahirkan rasa takut kepada Allah.
 
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma beliau menyebutkan ayat diatas :

قال ابن عباس: درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام

“Derajat ulama itu jauh diatas orang-orang mukmin dengan selisih 700 derajat. Sedangkan jarak antara dua derajat kira-kira perjalanan lima ratus tahun.”
 
Allah Subhana wa Ta'ala juga menyebutkan :
 
شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu..” (Surah Ali Imran : 18)

Dimana allah memberikan kesaksian tentang perkara yang sangat agung yaitu perkara Tauhid. Dan kemudian Allah gandengkan kesaksian Allah dengan kesaksian para malaikat dan para ulama.
 
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman :
 
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَا لَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ
 
"Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Surah Az Zumar : 9)
 
Dalam ayat lain, Allah Subhana wa Ta'ala berfirman dalam
 
وَمَا يَعْقِلُهَاۤ اِلَّا الْعٰلِمُوْنَ
 
"dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu." (Surah Al Ankabut : 43)
 
Allah Subhana wa Ta'ala juga menyebutkan :
 
بَلْ هُوَ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ فِى صُدُورِ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ ۚ

“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu…” (Surah Al Ankabut : 49)

Begitu pula Allah juga menyebutkan :
 
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَا دِهِ الْعُلَمٰٓ ؤُاۗ
 
"Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. (Surah Fathir 28)
 
Artinya, ilmu yang sebenar-benarnya itu adalah ilmu yang mendatangkan rasa takut.
 
Begitupula dalam firmanNya :

اُولٰۤىِٕكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِۗ

“…mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Surah Al Bayyinah : 7)

Ibnu Jama'ah berkata dalam Surah Al Bayyinah ayat 7-8 : dua ayat ini menjelaskan bahwa para ulama, mereka yang takut kepada Allah Subhana wa Ta'ala. Karna diakhir kalimat Allah menyebutkan ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهٗ 'yang demikian itu takut kepada Rabb-nya.' Dan diayat sebelumnya Allah menjelaskan bahwa mereka yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik makhluk. Maka kedua ayat ini memberikan kesimpulan kepada kita bahwa para ulama adalah sebaik-baik makhluk.

Ibnu Qayyim rahimahullah dididalam Miftah Daris Sa’adah juga menyebutkan bahwa didalam Al-Qur'an bahwa Allah tidaklah menyebutkan ketinggian derajat melainkan dengan keimanan dan ilmu. Maka hal yang paling besar yang dapat memberikan atau menyebabkan seseorang diberikan kedudukan yang tinggi didunia dan akhirat adalah dua hal yaitu ilmu dan iman..

Muallif rahimahullah ta'ala juga menyebutkan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa bersabda :
 
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
 
Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
 
Allah gerakkan hatinya memahami agama untuk mempelajari agama. Karna itulah para ulama menyebutkan siapa yang tidak tergerak hatinya untuk menuntut ilmu bisa jadi mereka bukanlah orang-orang yang Allah inginkan kebaikan bagi dirinya. Maka ini suatu nikmat yang besar yang kita dapatkan. Maka bersyukurlah atas nikmat yang Allah berikan tersebut ketika kita masih diberikan Allah Subhana wa Ta'ala kenikmatan dengan hadir di majelis-majelis ilmu. Iklhas semata-mata hadir karna Allah Subhana wa Ta'ala.
 
Dan juga Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyebutkan :
 
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

“Ulama adalah pewaris para nabi.” (Hadits Riwaayat At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu),

Berkata Ibnu jama'ah rahimahullah :
 
“Cukuplah ini sebagai suatu kebanggaan yang sangat besar yang engkau dapatkan ketika engkau dikategorikan sebagai para pewaris nabi. Sebagaimana tidak ada lagi tingkatan yang lebih tinggi daripada tingkatan kenabian. Maka demikian pula tidak ada kemuliaan yang lebih mulia daripada kemuliaan pewaris para nabi.”
 
Ahli waris adalah yang terdekat hubungannya dengan si mayit. Maka pewaris para nabi menunjukkan bahwa hubungan mereka amat sangat dekat dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
 
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa keutamaan seorang alim dibandingkan dengan ahli ibadah saja (rahib, tidak berilmu) diibaratkan sebagaimana keutamaan nabi dibandingkan dengan orang-orang yang paling rendah diantara kalian.
 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga menyebutkan :
 
من سلك طريقاً يلتمِسُ فيه علماً سهّلَ الله له طريقاً إلى الجنّةِ، وإن الملائكةَ لتضَعُ أجنحتها لِطالبِ العلم رِضاً بما يصنع، وإن العالِمَ ليَسْتَغْفِرُ له من في السمواتِ ومَن في الأرضِ، حتى الحيتانُ في الماءِ،

“Siapa yang meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayap mereka untuk para penuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang mereka cari. Dan sesungguhnya seorang ulama dimohonkan ampunan untuknya oleh semua yang ada di langit dan di bumi, sampai-sampai ikan yang ada di dalam air.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya)
 
Para ulama mengingatkan manusia untuk takut kepada Allah, senantiasa mentauhidkan Allah Subhana wa Ta'ala. Ini mendatangkan kebaikan bagi seluruh makhluk karna maksiat justru akan mendatangkan kerusakan.
 
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman :
 
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia..” (Surah Ar Rum : 41 )

Suatu maksiat akan mendatangkan hukuman bagi Allah Subhana wa Ta'ala. Sedangkan ahlul ilmi mereka mengajak manusia kepada ketaatan kepada Allah Subhana wa Ta'ala dan mentauhidkan Allah. Karna itulah seluruh makhluk membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan. Mereka berdoa kepada Allah dan meminta kepada Allah Subhana wa Ta'ala : “Seluruh yang ada di langit dan di bumi senantiasa beristighfar (dimohonkan ampunan) bagi orang-orang yang berilmu.”
 
Namun hadist ini tidak benar dijadikan dalil bahwa tidak diperbolehkan untuk makan ikan. Disebebkan ikan yang beristighfar bagi orang-orang yang berilmu. Maka ini anggapan yang tidak benar. Karna Allah Subhana wa Ta'ala yang menjadikan apa yang ada di daratan dan di lautan sebagai bekal bagi manusia sampai ikan yang ada dilautan.
 
Dan keutamaan lainnya seorang alim dibandingkan dengan ahli ibadah diibaratkan seperti keutamaan atau perbandingan bulan purnama dengan bintang-bintang lainnya.
 
وفضلُ العالم على العابد كفضل القمرِ على سائر الكواكب،

“Dan keistimewaan ulama di atas ahli ibadah yaitu seperti keistimewaan bulan dibandingkan bintang-bintang.”
 
Sebagaimana yang sudah ketahui dalam kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
 
أنّ نَبِيَّ الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وتِسْعينَ نَفْساً ، فَسَأَلَ عَنْ أعْلَمِ أَهْلِ الأرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ ، فَأَتَاهُ . فقال : إنَّهُ قَتَلَ تِسعَةً وتِسْعِينَ نَفْساً فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ ؟ فقالَ : لا ، فَقَتَلهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً ، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ . فقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقالَ : نَعَمْ ، ومَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ ، فانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ ، فاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ ومَلائِكَةُ العَذَابِ . فَقَالتْ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِباً ، مُقْبِلاً بِقَلبِهِ إِلى اللهِ تَعَالَى ، وقالتْ مَلائِكَةُ العَذَابِ : إنَّهُ لمْ يَعْمَلْ خَيراً قَطُّ ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ في صورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ
أيْ حَكَماً – فقالَ : قِيسُوا ما بينَ الأرضَينِ فَإلَى أيّتهما كَانَ أدنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوا فَوَجَدُوهُ أدْنى إِلى الأرْضِ التي أرَادَ ، فَقَبَضَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحمةِ )) مُتَّفَقٌ عليه .
 
Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.

Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”
 
Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
 
Ini adalah kisah bagaimana ilmu itu mendatangkan kebaikan. Yang tadinya membuat manusia menjadi putus asa malah justru membuka pintu kebaikan bagi manusia.

Diantaranya ada kejadian Sahabat yang menggunakan air berakibat pada kematian lantaran diberitahu oleh yang lain tanpa berdasarkan ilmu :

ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮٍ ﻗَﺎﻝَ: ﺧَﺮَﺟْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﺄَﺻَﺎﺏَ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻨَّﺎ ﺣَﺠَﺮٌ ﻓَﺸَﺠَّﻪُ ﻓِﻲ ﺭَﺃْﺳِﻪِ، ﺛُﻢَّ اﺣْﺘَﻠَﻢَ ﻓَﺴَﺄَﻝَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑَﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻫَﻞْ ﺗَﺠِﺪُﻭﻥَ ﻟِﻲ ﺭُﺧْﺼَﺔً ﻓِﻲ اﻟﺘَّﻴَﻤُّﻢِ؟ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا: ﻣَﺎ ﻧَﺠِﺪُ ﻟَﻚَ ﺭُﺧْﺼَﺔً ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺗَﻘْﺪِﺭُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻤَﺎءِ ﻓَﺎﻏْﺘَﺴَﻞَ ﻓَﻤَﺎﺕَ

Jabir berkata: Kami berada dalam perjalanan, seseorang di antara kami terkena batu dan luka di kepalanya. Ia pun mengalami mimpi basah. Dia bertanya kepada sahabatnya apakah boleh Tayamum? Mereka menjawab tidak ada keringanan selama masih mampu memakai air. Ia mandi keramas. Lalu meninggal

ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﻗَﺪِﻣْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃُﺧْﺒِﺮَ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻝَ: «ﻗَﺘَﻠُﻮﻩُ ﻗَﺘَﻠَﻬُﻢُ اﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻻَ ﺳَﺄَﻟُﻮا ﺇِﺫْ ﻟَﻢْ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮا ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺷِﻔَﺎءُ اﻟﻌﻲ اﻟﺴُّﺆَاﻝُ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻜْﻔِﻴﻪِ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻴَﻤَّﻢَ ﻭَﻳَﻌْﺼِﺮَ – ﺃَﻭْ ﻳَﻌْﺼِﺐَ ﺷَﻚَّ ﻣُﻮﺳَﻰ – َﻋﻠَﻰ ﺟُﺮْﺣِﻪِ ﺧِﺮْﻗَﺔً، ﺛُﻢَّ ﻳَﻤْﺴَﺢَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻳَﻐْﺴِﻞَ ﺳَﺎﺋِﺮَ ﺟَﺴَﺪِﻩِ»

Ketika kami sampai di Madinah, Nabi shalallahu alaihi wasallam diberi kabar tentang hal itu. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : “Mereka Membunuhnya. Semoga Allah mematikan mereka. Hendaknya mereka bertanya jika tidak tahu. Obatnya bodoh adalah bertanya. Sebenarnya cukup baginya untuk memberi perban di kepalanya lalu diusap (Tayammum) dan organ tubuh lainnya disiram” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
 
Ini menunjukkan keutamaan daripada ilmu.
 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
 
وإنّ العلماء ورثة الأنبياء، إنّ الأنبياء لم يُورِّثُوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورَّثُوا العلمَ، فمن أخذه أخذ بحظٍ وافرٍ

“Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar tidak pula Dirham, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan para Nabi (yaitu ilmu), sungguh ia telah mengambil keuntungan yang sangat banyak.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Ketahuilah, hal yang sangat terpenting adalah Allah Subhana wa Ta'ala-lah yang menggerakkan hati manusia, membuka hati manusia. Setiap individu diantara kita adalah muallim walaupun kita tidak terjun langsung dalam pendidikan formal atau yang lainnya, namun setidak-tidaknya setiap individu diantara kita adalah muallim bagi keluarganya dan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhana wa Ta'ala. Karena hal itu yang terpenting adalah doakan orang-orang yang akan kita ajari. Selipkan doa disetiap doa-doa yang kita panjatkan. Lihatlah bagaimana Syaikul Islam Muhammad Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah-risalahnya, beliau mendoakan orang-orang yang didakwahi :
 
اعلم رحمك الله

Ilmuilah! –semoga Allah merahmatimu-
 
Begitu pula kita terhadap keluarga, anak-anak kita. Biasakan lisan kita untuk mendoakan mereka. Karna salah satu doa yang tidak akan ditolak adalah doa orang tua terhadap anaknya. Bagaimana pun kondisi kita disaat marah ataupun senang, biasakan lisan kita untuk mendoakan kebaikan bagi mereka. Jangan lontarkan ucapan-ucapan yang buruk.

Wallahu'alam

(Oleh : Buya Ahmad Daniel | Kitab Tadzkiratus Saami' | Masjid Al Hakim | Kota Padang | 25 Safar 1444 H)

Posting Komentar

0 Komentar