Haji wajib atas setiap muslim, laki-laki dan perempuan, namun untuk wanita disyaratkan -disamping syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya- keberadaan mahram di mana dia berangkat bersamanya untuk menunaikan ibadah haji, karena seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan untuk haji atau selainnya tanpa mahram.
Di dalam masalah kewajiban wanita pergi haji dengan mahram terjadi perbedaan pandangan ulama, apakah keberadaan mahram itu masuk dalam syarat wajib atau tidak. Menurut imam Malik, Imam Syafi'i dan diantara para sahabat seperti Aisyah dan Ibnu Umar mereka menganggap tidak termasuk syarat wajib. Artinya selama ada keamanan maka tetap wajib melaksanakan haji. Asalkan mereka berangkat dengan orang-orang yang menjamin keamanan wanita itu, maka itu diperbolehkan.
Adapun Hanabilah, wajibnya mahram adalah syaratnya haji. Artinya, jika wanita tidak memiliki mahram maka tidak wajib dia haji meskipun dia memiliki harta yang mencukupi.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :
لا تسافر المرأة إلا مع محرم، ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها محرم.
"Seorang wanita tidak melakukan perjalanan kecuali bersama mahram dan tidak pula seorang laki-laki masuk kepadanya kecuali dengan mahramnya." (Hadist Riwayat Bukhari)
Seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Sesungguhnya aku akan berangkat bersama pasukan ini dan ini, sementara istriku hen dak melaksanakan haji."
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
أخرج معها.
"Berangkatlah bersama istrimu." (Hadist Riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas)
Dalam ash-Shahihain, laki-laki tersebut berkata, "Sesungguhnya istriku berangkat haji sedangkan aku berangkat dengan pasukan begini dan begini." Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya :
انطلق فحج مع امرأتك.
"Berangkatlah dan hajilah bersama istrimu." (Muttafaqun'alaih dari Ibnu Abbas)
Dalam ash-Shahiih dan lainnya :
لا يحل لإمرأة تسافر مسيرة يوم وليلة ليس معها محرم.
"Tidak halal bagi seorang wanita melakukan perjalanan dengan jarak perjalanan satu hari satu malam tanpa mahram." (Muttafaqun 'alaih dari Abu Hurairah)
Ini adalah beberapa hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang melarang seorang wanita untuk melakukan perjalanan tanpa mahram yang mengiringinya, baik perjalanan haji atau lainnya, hal itu demi menutup pintu kerusakan dan fitnah darinya dan dengannya.
Imam Ahmad berkata,
"Mahram bagi wanita termasuk sabil, wanita yang tidak mempunyai mahram maka dia tidak wajib haji dengan sendirinya atau dengan penggantinya."
Mahram seorang wanita adalah suaminya atau laki-laki yang haram menikahinya untuk selama-lamanya karena hubungan nasab, seperti saudara laki-laki, bapaknya, paman dari bapaknya, keponakan nya dan paman dari ibunya. Atau haram menikahinya karena sebab yang mubah seperti saudara sesusuan atau akibat adanya hubungan pernikahan seperti bapak tirinya dan anak tirinya, berdasarkan hadits dalam Shahih Muslim :
لا يحل لامرأة تؤمن بالله أن تسافر إلا ومعها أبوها أو ابنها أو زوجها أو أخوها أو ذو محرم منها.
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah untuk melakukan perjalanan kecuali disertai dengan bapaknya atau anaknya atau suaminya atau saudaranya atau mahramnya yang lainnya." (Hadist Riwayat Muslim)
Nafkah mahramnya dipikul oleh wanita tersebut, syarat kewajiban haji atasnya adalah memiliki nafkah untuk dirinya dan untuk mali ramnya pulang pergi.
Wanita yang mendapatkan mahram dan tidak segera menunai kan haji sekalipun dia mampu dari sisi finansial lalu mahram tersebut hilang maka dia menunggu sampai mendapatkan mahram baru, jika tidak ada harapan untuk mendapatkannya, maka dia menunjuk orang lain untuk menggantikannya.
Siapa yang sudah wajib melaksanakan haji lalu dia mati sebelum melaksanakan, maka diambil dari harta peninggalannya sejumlah yang cukup untuk biaya haji lalu orang lain berhaji untuknya, hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk haji, namun dia wafat sebelum melaksanakannya, apakah aku menunaikannya untuknya?" Nabi bersabda.
نهم، حجي عنها، أرأيت لو كان على أمك دين أكنت قاضيته ؟ أقضوا الله فالله أحق بالوفاء.
"Ya, laksanakanlah haji untuknya. Bagaimana menurutmu jika ibumu memikul hutang apakah kamu membayarnya untuk nya? Tunaikanlah hak Allah, karena ia lebih patut untuk di penuhi." (Hadist Riwayat Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang mati dalam keadaan menanggung kewajiban haji maka anaknya atau walinya harus menghajikannya atau menyiapkan bekal untuk itu dari harta mayit sebagaimana wali harus melunasi hutangnya.
Para ulama sepakat bahwa hutang kepada sesama dibayar dari harta peninggalan mayit, hal yang sama berlaku untuk hal-hak yang sama dengan hutang dalam pelunasannya.
Dalam hadits lain,
"Sesungguhnya saudara perempuanku bernadzar untuk haji." (Hadist Riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas)
Dalam sunan ad-Daraquthni,
"Sesungguhnya bapakku wafat dan dia belum menunaikan haji Islam." (Hadist Riwayat ad-Daruquthni)
Zhahirnya tidak ada perbedaan antara haji wajib dari syari'at dengan haji wajib yang diwajibkan oleh seseorang atas dirinya, baik dia memberi wasiat ataupun tidak.
Haji dari orang lain sah untuk orang yang dihajikan seolah-olah dia sendiri yang melakukannya, orang yang menghajikannya seperti wakilnya. Orang yang menggantikan orang lain meniatkan berihram untuk siapa yang digantikannya, dan bertalbiyah untuknya. cukup baginya berniat untuk menunaikan manasik atas nama orang yang digantikannya dan tidak harus disebut namanya. jika dia tidak tahu namanya atau nama nasabnya maka dia bertalbiyah untuk orang yang menyerahkan uang kepadanya agar dia melaksanakan haji untuk nya
Seorang muslim dianjurkan untuk melaksanakan haji bagi bapak ibunya jika kedua sudah meninggal atau masih hidup namun tidak mampu menunaikan haji, ibu didahulukan karena dia lebih berhak dengan bakti anak.
Wallahu'alam
(Oleh : Buya M. Elvi Syam | Kitab Mulakhkhas Fiqhi | Masjid Al Hakim | Kota Padang | 23 Safar 1444 H)
0 Komentar
Tinggalkan balasan