Beriman kepada takdir Allah Subhana wa
Ta'ala telah dipahami merupakan salah satu pondasi keimanan seorang muslim
yaitu rukun iman yang keenam. Artinya, kita mengimani segala sesuatunya terjadi
dengan takdir Allah Subhana wa Ta'ala. Tidak ada satu peristiwa, tidak ada satu
kejadian, tidak ada satupun gerakan melainkan takdir Allah Subhana wa Ta'ala.
Dan ulama menjelaskan mengimani takdir Allah
Subhana wa Ta'ala mencakup keimanan 4 perkara :
1. Mengimani ilmu Allah Subhana wa Ta'ala.
Maksudnya, kita meyakini segala sesuatu
diketahui oleh Allah Subhana wa Ta'ala baik secara global maupun secara terperinci.
Karna Allah Subhana wa Ta'ala
menegaskan :
menegaskan :
وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Surah Al Baqarah : 216)
2. Mengimani segala sesuatunya telah Allah tulis, catat dalam sebuah kitab yang disebut dengan Lauhul Mahfudz (kitab catatan takdir).
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ
مَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِى كِتَٰبٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ
عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Surah Al Hajj : 70)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda :
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ
الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ
سَنَةٍ
يَمْحُوا۟ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ
ٱلْكِتَٰبِ
“Allah menghapuskan apa yang
Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Surah Ar Ra’d : 39)
Walaupun seluruh makhluk menghendaki, jika Allah tidak menghendaki maka tidak akan terjadi. Walaupun seluruh makhluk tidak menghendaki namun Allah menghendakinya maka pasti terjadi.
“Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’. Maka Nabi bersabda : ‘Apakah kamu menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah? Sebaliknya, atas kehendak Allah semata’.”
Sekalipun makhluk yang paling mulia yaitu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghendaki, kalau Allah tidak menghendaki maka tidak akan terjadi. Oleh karena itu beliau sangat menghendaki pamannya Abu Thalib untuk mendapatkan hidayah, tapi Allah tidak menghendakinya sehingga sampai mati Abu Thalib tidak mendapatkan hidayah.
اَللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ
شَيْءٍ ۙوَّهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Surah Az-Zumar : 62)
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Surah As-Shaffat : 96)
Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu berkata,
وَالَّذِي نَفْسُ ابْنِ
عُمَر بِيَدِهِ لَوْ كَانَلِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا
قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ.
“Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.”
Artinya, orang yang tidak beriman kepada takdir maka dia bukan seorang muslim. Dia bukan orang yang beriman sehingga amalannya tidak akan diterima oleh Allah Subhana wa Ta'ala.
وَمَا
مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا
بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلٰوةَ اِلَّا وَهُمْ كُسَالٰى
وَلَا يُنْفِقُوْنَ اِلَّا وَهُمْ كٰرِهُوْنَ
“Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa).” (Surah At Taubah : 54)
Orang yang tidak beriman kepada takdir maka dia bukan seorang muslim atau keislamannya batal. Sehingga Ibnu Umar mengatakan : “Walaupun dia berinfak emas sebesar gunung Uhud Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada takdir Allah Subhana wa Ta'ala.”
مَا
يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَاۤ اَنَاۡ بِظَلَّا مٍ لِّلْعَبِيْدِ
(Surah Qaf : 29)
وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Surah Al Isra’ : 15)
فَمَن
كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" (Surah Al Kahfi : 110)
Hamba tidaklah dipaksa oleh Allah untuk berbuat dosa melainkan pilihannya sendiri maka pantas dia bertanggung jawab. Dalam syariat Allah, jika ada seseorang berbuat dosa karna dipaksa oleh orang lain maka dia tidak berdosa. Bahkan dia melakukan kekafiran sekalipun jika karna paksaan orang lain, dia tidak kafir.
مَن
كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ
مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Surah An Nahl : 106)
Akan tetapi hal tersebut dengan syarat hatinya tetap beriman. Karna hati seseorang tidak bisa dipaksakan. Namun jika hatinya menerima maka dia jatuh kepada kekafiran. Yang dimaksud paksaan dalam hal ini adalah paksaan yang seseorang tidak bisa lari ataupun melawan. Begitu pula dengan paksaan dengan ancaman berat seperti dibunuh, diancam dihilangkan anggota tubuhnya. Adapun paksaan dengan alasan dipecat dari sebuah pekerjaan maka hal ini bukan alasan kita untuk berbuat dosa.
عَنْ
عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى
جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الأَرْضَ فَقَالَ « مَا
مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ
مِنَ الْجَنَّةِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى
كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ « اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ
لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ
السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ
أَهْلِ الشَّقَاوَةِ » . ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى *
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ) الآيَةَ .
Artinya: “Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalllam pada sebuah jenazah, lalu beliau berdiam sejenak, kemudian beliau menusuk-nusuk tanah, lalu bersabda:“Tidak ada seorangpun dari kalian melainkan telah dituliskan tempatnya dari neraka dan tempatnya dari surga”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bersandar atas takdir kita dan meninggalkan amal?”, beliau menajwab: “Beramallah kalian, karena setiap sesuatu dimudahkan atas apa yang telah diciptakan untuknya, siapa yang termasuk orang yang ditakdirkan bahagia, maka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni surga, adapun siapa yang ditakdirkan termasuk dari dari orang yang ditkadirkan sengsara, maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni neraka”. Kemudian beliau membaca ayat:
{فَأَمَّا
مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (٦) فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْيُسْرَى (٧)} [الليل : ٥ - ٧]
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa”. “Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)”. “Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. (Surah Al Lail : 5-7)
وَّيُعَذِّبَ
الْمُنٰفِقِيْنَ وَا لْمُنٰفِقٰتِ وَا لْمُشْرِكِيْنَ وَ الْمُشْرِكٰتِ
الظَّآنِّيْنَ بِا للّٰهِ ظَنَّ السَّوْءِ ۗ عَلَيْهِمْ دَآئِرَةُ السَّوْءِ ۚ
مَنْ
يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْراً يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan kepadanya musibah” (Shahih Al-Bukhari no. 5645)
Diantara kebaikan dibalik sebuah musibah yaitu :
إِنَّمَا
يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Surah Az Zumar : 10)
Padahal musibah yang paling besar ditimpakan oleh para nabi dan rasul. Karna Allah ingin memberikan pahala yang tbesar kepada mereka. Begitu pula orang-orang sholeh.
إِنَّ
مِنْ أَشَدِ النَّاسِ بَلاَءً اَْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ .
“Sesungguhnya termasuk manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’, kemudian orang-orang yang mengikutinya, kemuidan orang-orang yang mengikutinya, kemudian orang-orang yang mengikjutinya.”
إن عِظَمَ الجزاءِ مع
عِظَمِ البلاءِ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رَضِيَ فله الرِضا، ومن
سَخِطَ فله السُّخْطُ
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia pasti menguji mereka; siapa yang rida maka baginya keridaan (Allah) dan siapa yang murka maka baginya kemurkaan (Allah)” (Diriwayatkan Oleh Ibnu Majah)
وَمَنْ
يُّؤْمِنْ بِۢا للّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗ
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ
اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ
تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى
مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ
الْمُؤْمِنَ فِى جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ
سَيِّئَاتِه
مَا مِنْ
مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى
خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
فَلَمَّا
تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ مَنْ خَيْرٌ مِنْ أَبِى سَلَمَةَ صَاحِبِ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ عَزَمَ اللَّهُ لِى فَقُلْتُهَا. قَالَتْ
فَتَزَوَّجْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ
“Kalau kalian mengingat nikmat Allah yang diberikan kepada kalian, kalian tidak akan sanggup untuk menghitungnya.” (Surah Ibrahim : 34)
Oleh karena itu, janganlah kita mengatakan : “Kesusahan hidup kita, musibah yang menimpa kita sebagai sebuah kekejaman didalam takdir Allah Subhana wa Ta'ala”. Bahkan sebaliknya, disitulah ada Rahmat Allah, kebaikan yang melimpah kalau kita hadapi musibah itu dengan kesabaran dan tawakal kepada Allah serta bertaubat dari semua dosa-dosa kita.
Wallahu'alam
0 Komentar
Tinggalkan balasan