Subscribe Us

header ads

Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala Tidaklah Kejam


Beriman kepada takdir Allah Subhana wa Ta'ala telah dipahami merupakan salah satu pondasi keimanan seorang muslim yaitu rukun iman yang keenam. Artinya, kita mengimani segala sesuatunya terjadi dengan takdir Allah Subhana wa Ta'ala. Tidak ada satu peristiwa, tidak ada satu kejadian, tidak ada satupun gerakan melainkan takdir Allah Subhana wa Ta'ala.
 
Dan ulama menjelaskan mengimani takdir Allah Subhana wa Ta'ala mencakup keimanan 4 perkara :
 
1. Mengimani ilmu Allah Subhana wa Ta'ala.
 
Maksudnya, kita meyakini segala sesuatu diketahui oleh Allah Subhana wa Ta'ala baik secara global maupun secara terperinci. Karna Allah Subhana wa Ta'ala
menegaskan :

وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Surah Al Baqarah : 216)

2. Mengimani segala sesuatunya telah Allah tulis, catat dalam sebuah kitab yang disebut dengan Lauhul Mahfudz (kitab catatan takdir).
 
sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala tegaskan :

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِى كِتَٰبٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Surah Al Hajj : 70)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda :

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
 
Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (Hadits Riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
 
3. Mengimani segala sesuatunya apabila terjadi sesuai kehendak Allah Subhana wa Ta'ala. Kalau Allah menghendaki, pasti terjadi. Dan kalau tidak maka tidak mungkin terjadi.
 
Allah Subhana wa Ta'ala menegaskan :

 
يَمْحُوا۟ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ


“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Surah Ar Ra’d : 39)

Walaupun seluruh makhluk menghendaki, jika Allah tidak menghendaki maka tidak akan terjadi. Walaupun seluruh makhluk tidak menghendaki namun Allah menghendakinya maka pasti terjadi.
 
Diriwayatkan Ahmad, bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم: مَا شَاءَ الله وَشِئْتَ. فَقَال: أَجْعَلْتَنِيَ لله نِدًّا؟ بَلْ مَا شَاءَ الله وَحْدَه

Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’. Maka Nabi bersabda : ‘Apakah kamu menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah? Sebaliknya, atas kehendak Allah semata’.”

Sekalipun makhluk yang paling mulia yaitu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghendaki, kalau Allah tidak menghendaki maka tidak akan terjadi. Oleh karena itu beliau sangat menghendaki pamannya Abu Thalib untuk mendapatkan hidayah, tapi Allah tidak menghendakinya sehingga sampai mati Abu Thalib tidak mendapatkan hidayah.
 
4. Mengimani segala sesuatunya ciptaan Allah. Seluruh makhluk dan segala perbuatannya adalah ciptaan Allah Subhana wa Ta'ala.
 
Sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala menegaskan :

 اَللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۙوَّهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Surah Az-Zumar : 62)
 
Allah Subhana wa Ta'ala juga menegaskan :

وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Surah As-Shaffat : 96)

Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu berkata,

وَالَّذِي نَفْسُ ابْنِ عُمَر بِيَدِهِ لَوْ كَانَلِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ.

Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.”
Artinya, orang yang tidak beriman kepada takdir maka dia bukan seorang muslim. Dia bukan orang yang beriman sehingga amalannya tidak akan diterima oleh Allah Subhana wa Ta'ala.
 
Allah Subhana wa Ta'ala menegaskan :

وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلٰوةَ اِلَّا وَهُمْ كُسَالٰى وَلَا يُنْفِقُوْنَ اِلَّا وَهُمْ كٰرِهُوْنَ

“Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa).” (Surah At Taubah : 54)

Orang yang tidak beriman kepada takdir maka dia bukan seorang muslim atau keislamannya batal. Sehingga Ibnu Umar mengatakan : “Walaupun dia berinfak emas sebesar gunung Uhud Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada takdir Allah Subhana wa Ta'ala.”
 
Penakdiran itu adalah perbuatan Allah Subhana wa Ta'ala. Dan semua perbuatan Allah adalah Maha Indah. Apapun penakdiran Allah, sebuah perbuatanNya adalah kebaikan. Maka tidak sepantasnya seorang muslim mengatakan : “Takdir Allah itu kejam.”
 
Lalu bagaimana kita memahamkan kalau ada orang yang berpahaman bahwa takdir Allah itu kejam? Maka ada 5 jawaban yang harus kita pahami dengan baik kepada mereka :
 
1. Harus kita yakini seperti yang Allah kabarkan kepada kita bahwa Dia tidak pernah menzalimi siapapun.
 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَاۤ اَنَاۡ بِظَلَّا مٍ لِّلْعَبِيْدِ
 
"Keputusan-Ku tidak dapat diubah, dan Aku tidak menzalimi hamba-hamba-Ku.""
(Surah  Qaf : 29)
 
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ucapan ini : “Aku tidaklah mengadzab seorang pun disebabkan orang lain, akan tetapi yang Aku adzab karna dosanya sendiri setelah ditegakkan hujjah atasnya.”
 
Allah menegaskan dalam ayat lain :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Surah Al Isra’ : 15)
 
2. Allah tidak pernah memaksa seseorang pun untuk berbuat dosa.
 
Namun ia sendiri yang memilih untuk berbuat dosa, bukan karna paksaan dari Allah. Walaupun sebenarnya apapun yang ia pilih sama sekali tidak keluar dari takdir Allah Subhana wa Ta'ala. Allah berikan kepada hambaNya untuk kemampuan untuk memilih.
 
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman :

فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" (Surah Al Kahfi : 110)

Hamba tidaklah dipaksa oleh Allah untuk berbuat dosa melainkan pilihannya sendiri maka pantas dia bertanggung jawab. Dalam syariat Allah, jika ada seseorang berbuat dosa karna dipaksa oleh orang lain maka dia tidak berdosa. Bahkan dia melakukan kekafiran sekalipun jika karna paksaan orang lain, dia tidak kafir.
 
Sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala menegaskan :
 
مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Surah An Nahl : 106)

Akan tetapi hal tersebut dengan syarat hatinya tetap beriman. Karna hati seseorang tidak bisa dipaksakan. Namun jika hatinya menerima maka dia jatuh kepada kekafiran. Yang dimaksud paksaan dalam hal ini adalah paksaan yang seseorang tidak bisa lari ataupun melawan. Begitu pula dengan paksaan dengan ancaman berat seperti dibunuh, diancam dihilangkan anggota tubuhnya. Adapun paksaan dengan alasan dipecat dari sebuah pekerjaan maka hal ini bukan alasan kita untuk berbuat dosa.
 
Kalau ancaman itu berat sampai menghilangkan nyawa atau menghilangkan anggota tubuh maka Allah membolehkan kita berbuat dosa bahkan kekafiran sekalipun namun dengan syarat hati kita menolaknya.
 
Maka Allah Subhana wa Ta'ala mengatakan :
 
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”
 
Jika seorang hamba dipaksa oleh orang lain untuk berbuat dosa maka dia tidak berdosa. Oleh karena itu, Allah tidaklah zalim kepada hamba. Hamba sendirilah yang zalim kepada dirinya.
 
3. Allah memberikan balasan sesuai dengan amalan kita.
 
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, Rasullullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :

عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الأَرْضَ فَقَالَ « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ « اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ » . ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ) الآيَةَ .
 
Artinya: “Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalllam pada sebuah jenazah, lalu beliau berdiam sejenak, kemudian beliau menusuk-nusuk tanah, lalu bersabda:“Tidak ada seorangpun dari kalian melainkan telah dituliskan tempatnya dari neraka dan tempatnya dari surga”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bersandar atas takdir kita dan meninggalkan amal?”, beliau menajwab: “Beramallah kalian, karena setiap sesuatu dimudahkan atas apa yang telah diciptakan untuknya, siapa yang termasuk orang yang ditakdirkan bahagia, maka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni surga, adapun siapa yang ditakdirkan termasuk dari dari orang yang ditkadirkan sengsara, maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni neraka”. Kemudian beliau membaca ayat:

{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (٦) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (٧)} [الليل : ٥ - ٧]

Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa”. “Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)”. “Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. (Surah Al Lail : 5-7)
 
Ketika kita beramal, jangan pikirkan takdir kita apakah masuk surga atau masuk neraka. Karena itu bukan urusan kita melainkan itu adalah urusan Allah. Kita tidak mungkin tahu tentang masa depan yang telah Allah takdirkan untuk kita. Yang penting bagi kita adalah : “Patuhi apa yang Allah perintahkan.”
 
4. Kita ingatkan kepada seseorang yang mengatakan bahwa : “Takdir Allah itu kejam" adalah sebuah celaan kepada Allah.
 
Karna itu termasuk prasangka buruk kepada Allah dan ini termasuk dosa kekafiran. Allah mengingatkan kepada orang-orang yang berprasangka buruk dalam firmanNya :
 
وَّيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ وَا لْمُنٰفِقٰتِ وَا لْمُشْرِكِيْنَ وَ الْمُشْرِكٰتِ الظَّآنِّيْنَ بِا للّٰهِ ظَنَّ السَّوْءِۗعَلَيْهِمْ دَآئِرَةُ السَّوْءِ ۚ
 
"dan Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah.”  (Surah Al-Fath : 6)
 
5. Dalam semua takdir Allah itu bagi seorang muslim ada kebaikan.
 
Walaupun disatu disisi ada keburukannya tapi kebaikannya jauh lebih banyak, maka hendaklah kita berprasangka baik kepada Allah Subhana wa Ta'ala. Musibah yang menimpa kita bukan kekejaman dari Allah bukan pula kezaliman dariNya melainkan Allah menghendaki kebaikan bagi kita.
 
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasullullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menegaskan :
 
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْراً يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan kepadanya musibah” (Shahih Al-Bukhari no. 5645)
Diantara kebaikan dibalik sebuah musibah yaitu :
 
a. Besarnya pahala sabar.
 
Allah Subhana wa Ta'ala menegaskan :

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Surah Az Zumar : 10)

Padahal musibah yang paling besar ditimpakan oleh para nabi dan rasul. Karna Allah ingin memberikan pahala yang tbesar kepada mereka. Begitu pula orang-orang sholeh.
 
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :

إِنَّ مِنْ أَشَدِ النَّاسِ بَلاَءً اَْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ .

“Sesungguhnya termasuk manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’, kemudian orang-orang yang mengikutinya, kemuidan orang-orang yang mengikutinya, kemudian orang-orang yang mengikjutinya.”
 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga menegaskan :

إن عِظَمَ الجزاءِ مع عِظَمِ البلاءِ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رَضِيَ فله الرِضا، ومن سَخِطَ فله السُّخْطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia pasti menguji mereka; siapa yang rida maka baginya keridaan (Allah) dan siapa yang murka maka baginya kemurkaan (Allah)” (Diriwayatkan Oleh Ibnu Majah)
 
b. Musibah menjadi pintu hidayah
 
Sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala berfirman :
 
وَمَنْ يُّؤْمِنْ بِۢا للّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗۗ
 
"Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (Surah At-Taghabun : 11)
 
Kalau Allah menghukum kita didunia itu menunjukkan kebaikan bagi kita. Karna dengan hukuman itu kita pun terbebas dari hukuman diakhirat. Orang-orang yang Allah segerakan hukumannya didunia menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan untuk mereka. Tapi kalau Allah tunda hukumannya diakhirat ini justru lebih berbahaya.
 
Oleh karena itu Nabi Shalallahu'Alaihi wa Sallam mengatakan :

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 
Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (Hadits Riwayat Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
 
Justru yang lebih kita takutkan, kita sering berbuat dosa tapi hidup kita aman-aman saja. Kekayaan melimpah, tidak ada masalah dalam hidup, diberikan kenikmatan dunia tapi kita tidak pernah ditimpa musibah dan terus menerus berbuat dosa maka ketahuilah itu justru lebih berbahaya dan itulah yang disebut dengan istidraj.
 
Istidraj yaitu adzab Allah yang datang dalam rupa kenikmatan. Yang diadzab adalah hatinya yang dijauhkan dari Allah. Itulah adzab yang paling pedih didunia ini. Kalau hati seseorang jauh dari Allah Subhana wa Ta'ala, jauh dari ajaran Allah dan tidak mengamalkan perintah Allah serta tidak menjauhi larangan Allah maka itulah adzab terbesar di dunia ini.
 
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu'Alaihi wa Sallam mengingatkan kita :

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
 
Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (Hadits Riwayat Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).
 
c. Setiap musibah yang menimpa kita adalah penghapus dosa kita.
 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menegaskan :

مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِى جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِه
 
Tidaklah suatu musibah menimpa jasad seorang mukmin dan itu menyakitinya melainkan akan menghapuskan dosa-dosanya” (Hadits Riwayat Ahmad 4: 98. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).
 
Kalau kita lihat doa-doa Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam ketika ditimpa musibah, kehilangan sesuatu maka Allah akan gantikan dengan yang lebih baik. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Ummu Salamah Radhiyallahu Anha wafat suaminya, Abu Salamah.
 
Ummu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
 
“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan ‘innaa lillahi wa Inna ilaihi roojiun. Allahumma'jurni fii mushibatii wa akhlif lii Khairan minha (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”
 
Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Hadits Riwayat Muslim)
 
Ummu Salamah juga berucap,

فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ مَنْ خَيْرٌ مِنْ أَبِى سَلَمَةَ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ عَزَمَ اللَّهُ لِى فَقُلْتُهَا. قَالَتْ فَتَزَوَّجْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
 
“Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengatakan, ‘Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah —sahabat Rasulullah Shallallahu'Alaihi wa Sallam–?’ Kemudian Allah memberikan petunjuk padaku (aku tawakkal dan pasrah kepada Allah) untuk tetap mengucapkan bacaan tadi.” Ummu Salamah pun berkata, “Rasulullah Shallallahu'Alaihi wa Sallam pun akhirnya menjadi suamiku.” (Hadits Riwayat Muslim)
 
Barangsiapa yang ditimpa musibah kemudian dia baca doa ini maka Allah akan gantikan yang lebih baik, seperti kehilangan uang, kehilangan mobil termasuk kehilangan anak. Kemudian sabar kita menghadapi ini serta membaca doa ini maka Allah akan gantikan dengan anak yang lebih baik.
 
Dahulu para nabi dan rasul dan orang-orang shalih ketika ditimpa musibah malah bersyukur. Bukan lagi sekedar sabar tapi mereka bersyukur karna tahu dibalik musibah ada banyak kebaikan seperti kebaikan pahala sabar, kebaikan diampunkan dosa-dosa, kebaikan mendapatkan ganti  yang lebih baik. Sebaliknya, dahulu orang shalih itu khawatir kalau sudah lama tidak mendapatkan musibah, sudah lama tidak tertimpa sakit, justru mereka khawatir takut jangan-jangan mereka ditimpa istidraj.
 
Maka wajib kepada kita untuk berprasangka baik kepada Allah Subhana wa Ta'ala karna dibalik segala musibah yang Allah timpakan kepada kita ada kebaikan dan kebaikannya jauh lebih banyak daripada musibah yang menimpa kita. Ditambah lagi kalau kita bandingkan antara musibah dan nikmat yang Allah berikan kepada kita, musibah itu jauh lebih sedikit.
 
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman :

وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ

 “Kalau kalian mengingat nikmat Allah yang diberikan kepada kalian, kalian tidak akan sanggup untuk menghitungnya.” (Surah Ibrahim : 34)

Oleh karena itu, janganlah kita mengatakan : “Kesusahan hidup kita, musibah yang menimpa kita sebagai sebuah kekejaman didalam takdir Allah Subhana wa Ta'ala”. Bahkan sebaliknya, disitulah ada Rahmat Allah, kebaikan yang melimpah kalau kita hadapi musibah itu dengan kesabaran dan tawakal kepada Allah serta bertaubat dari semua dosa-dosa kita.

Wallahu'alam
 
(Oleh : Buya Sofyan Chalid bin Idham Ruray | Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala Tidaklah Kejam | Masjid Baiturrahman | Kota Batusangkar | 21 Safar 1444 H)

Posting Komentar

0 Komentar